Pengembangan kawasan industri (KI) di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari perizinan, infrastruktur, hingga ketersediaan energi. Proses perizinan yang kompleks, kurangnya integrasi sistem antara SIINas, OSS, dan Amdal Net, serta belum seragamnya standar kawasan industri menjadi hambatan utama. Selain itu, pasokan listrik dan gas bumi yang belum merata, terutama di kawasan industri baru, turut menghambat operasional industri. Keterbatasan pasokan air dan infrastruktur pendukung lainnya juga menjadi faktor yang memengaruhi daya saing kawasan industri di Indonesia.
Salah satu inovasi yang sedang dikembangkan adalah Kawasan Industri Halal (KIH) yang bertujuan meningkatkan daya saing produk halal Indonesia. Keunggulan KIH meliputi jaminan kehalalan produk, standarisasi produksi, dan branding kawasan industri untuk menarik investasi. Namun, pengembangannya masih menghadapi kendala seperti rendahnya kesadaran pelaku usaha terhadap pentingnya kawasan industri halal, tingkat okupansi yang masih rendah, serta kurangnya insentif bagi pelaku usaha yang ingin bergabung dalam ekosistem ini.
Untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan kawasan industri, pemerintah menerapkan berbagai strategi, termasuk transformasi menuju Kawasan Industri Berkelanjutan dan Lingkungan (KIBL) serta penerapan konsep Eco Industrial Park (EIP). Selain itu, kebijakan industri hijau juga didorong agar memenuhi standar lingkungan global, seperti EU Green Deal yang menargetkan pengurangan emisi 55% pada 2030 dan Net Zero pada 2050. Koordinasi lintas sektor terus dilakukan guna mempercepat pembangunan infrastruktur, menarik investasi, serta memastikan kepatuhan kawasan industri terhadap regulasi yang berlaku. Dengan strategi ini, diharapkan kawasan industri di Indonesia dapat lebih kompetitif dan berdaya saing di tingkat global.