Pada tahun 2025, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap sebesar 11% terus menjadi salah satu strategi pemerintah dalam memperkuat penerimaan negara. Setelah diberlakukan sejak April 2022 melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif ini diharapkan mampu mendukung pembiayaan negara, terutama dalam membangun infrastruktur dan layanan publik pasca-pandemi COVID-19. Kebijakan ini juga mencerminkan upaya pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih modern dan responsif terhadap kebutuhan pembangunan.
Namun, tantangan di tahun 2025 semakin kompleks, mengingat dinamika ekonomi global dan domestik. Kenaikan PPN tetap memicu kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang terdampak inflasi dan kenaikan harga barang. Meski pemerintah telah memberikan pengecualian untuk beberapa barang dan jasa penting seperti kebutuhan pokok, kesehatan, dan pendidikan, tantangan terkait distribusi yang adil dan akses terhadap barang murah tetap menjadi perhatian. Bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, keberlanjutan tarif PPN ini juga menjadi tantangan dalam menjaga daya saing, apalagi di tengah ketatnya persaingan regional dan global.
Di sisi lain, pada tahun 2025, pemerintah memanfaatkan digitalisasi dalam pengelolaan perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan dan efisiensi. Sistem perpajakan berbasis teknologi, seperti e-faktur dan pelaporan daring, mempermudah pengawasan dan menekan praktik penghindaran pajak. Jika diterapkan dengan baik, kebijakan PPN tetap 11% dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang stabil dan adil, dengan syarat pemerintah terus berkomitmen memberikan pendampingan bagi pelaku usaha serta memastikan bahwa penerimaan pajak benar-benar digunakan untuk kebutuhan prioritas masyarakat.